Insomnia dan kesehatan mental memiliki hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Insomnia, yaitu kesulitan tidur yang berkepanjangan, sering kali menjadi indikasi adanya gangguan kesehatan mental.
Gangguan tidur ini bisa menjadi gejala dari kondisi seperti kecemasan, depresi, atau stres, dan pada gilirannya, kurang tidur dapat memperburuk kondisi kesehatan mental tersebut.
Mengelola insomnia dengan baik penting untuk mendukung kesehatan mental yang optimal.
Gangguan tidur seperti insomnia dapat dipicu oleh kondisi mental seperti depresi, kecemasan, dan stres. Sebaliknya, gangguan tidur yang berkepanjangan dapat memperburuk kondisi mental, menciptakan siklus yang sulit dipecahkan.
Insomnia dan Kesehatan Mental, Bagaimana Kaitannya?
Insomnia adalah kondisi di mana seseorang tidak mendapatkan tidur yang cukup atau mengalami kesulitan untuk tertidur maupun tidur nyenyak. Kondisi gangguan tidur ini dapat mengganggu perasaan dan fungsi tubuh karena kurangnya tidur.
Bagi sebagian orang, insomnia hanya menimbulkan ketidaknyamanan ringan, namun bagi yang lain, insomnia bisa menjadi masalah yang serius.
Tubuh manusia memerlukan tidur yang berkualitas. Kurangnya tidur dapat berdampak negatif pada banyak aspek kesehatan, termasuk menurunkan kondisi fisik.
Menurut Cleveland Clinic, insomnia yang parah atau berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan tidur yang serius. Salah satu masalah utama akibat kurang tidur adalah rasa kantuk di siang hari, yang bisa berbahaya saat mengemudi atau melakukan tugas lain yang memerlukan konsentrasi.
Selain itu, kurang tidur juga dapat meningkatkan risiko berbagai kondisi, seperti:
- Depresi
- Kecemasan
- Tekanan darah tinggi (hipertensi)
- Serangan jantung
- Stroke
- Apnea tidur obstruktif
- Diabetes tipe 2
- Kegemukan
- Kondisi yang berkaitan dengan psikosis.
Insomnia dan kesehatan mental memiliki keterkaitan yang erat. Menurut Ioannis Koutsourelakis, seorang spesialis tidur terkemuka di Goodpath, “Gangguan tidur bisa menjadi gejala sekaligus penyebab gangguan kesehatan mental.”
Ketika salah satu dari keduanya, kualitas tidur atau kesehatan mental, terganggu, yang lain akan ikut terpengaruh.
Oleh karena itu, penting bagi para pengusaha dan pemangku kepentingan untuk memahami hubungan ini agar dapat menemukan solusi yang tepat.
Sebuah analisis oleh Willis Towers Watson memprediksi bahwa kesehatan mental akan menjadi faktor terbesar dalam peningkatan biaya medis selama lima tahun ke depan.
Bisa Baca Juga : Penyebab Insomnia: Memahami Faktor-Faktor yang Mengganggu Tidur Anda
Dengan semakin tingginya prevalensi masalah kesehatan mental di dunia kerja, perusahaan yang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan perlu mempertimbangkan keterkaitan antara tidur dan kesehatan mental.
Depresi dan Insomnia
Ini merupakan kaitan insomnia dan kesehatan mental. Seperti halnya stres dan kecemasan, depresi juga memengaruhi pola tidur.
Tidur dan depresi memiliki hubungan yang erat, di mana kualitas tidur yang buruk dapat berkontribusi terhadap depresi, dan sebaliknya, depresi dapat memperburuk kualitas tidur.
Kesulitan tidur sering menjadi salah satu tanda depresi. Insomnia yang didiagnosis secara klinis memiliki korelasi yang kuat dengan depresi, dan insomnia dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami depresi hingga tiga kali lipat.
Sekitar 40% penderita depresi melaporkan mengalami kesulitan tidur sebelum kondisi depresinya berkembang.
Depresi juga dapat menyebabkan kurang tidur, dan depresi sendiri merupakan prediktor kuat bagi perkembangan insomnia di masa depan. Mengalami kondisi seperti depresi dapat meningkatkan risiko berkembangnya insomnia kronis. Faktanya, 90% pasien dengan depresi melaporkan adanya gangguan tidur.
Kecemasan dan Insomnia
Ini juga termasuk hubungan insomnia dan kesehatan mental. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa seseorang yang didiagnosis dengan insomnia memiliki kemungkinan tiga kali lipat untuk mengalami kecemasan terkait insomnia.
Data dari Goodpath Employer Health Index (GEHI) juga mengungkapkan adanya keterkaitan antara kecemasan dan gangguan tidur.
Ketika responden penilaian tidur melaporkan kecemasan, mereka memiliki kemungkinan 40% lebih tinggi untuk mengalami gejala insomnia sedang hingga berat dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami kecemasan.
Kecemasan dan insomnia seringkali berhubungan erat, di mana kecemasan dapat menyebabkan kesulitan tidur, dan kurang tidur dapat memperburuk kecemasan. Kecemasan ditandai dengan rasa khawatir berlebihan, gelisah, dan pikiran yang terus-menerus berputar, terutama saat hendak tidur.
Pikiran yang cemas membuat tubuh tetap dalam kondisi waspada, sehingga sulit untuk bersantai dan tertidur. Insomnia sendiri ditandai dengan kesulitan untuk tidur, sering terbangun di malam hari, atau bangun terlalu pagi.
Jika tidak diatasi, insomnia dan kesehatan mental ini bisa membentuk siklus yang sulit diputus, sehingga penting untuk menangani keduanya melalui teknik relaksasi, perbaikan rutinitas tidur, terapi, dan jika diperlukan, bantuan medis.
Pengaruh Insomnia pada Kesehatan Mental
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, insomnia dapat memberikan berbagai dampak negatif, termasuk kecemasan dan depresi.
Menurut laman Sleep Foundation, bagi banyak orang, insomnia sangat terkait dengan diagnosis gangguan kesehatan mental.
Faktanya, sekitar 50 persen penderita insomnia juga mengalami masalah kesehatan mental. Hubungan antara gangguan mental dan insomnia sangatlah kompleks.
Para ahli berpendapat bahwa insomnia dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, dan sebaliknya, kesehatan mental juga dapat memengaruhi kualitas tidur seseorang.
Bagi penderita insomnia, kualitas tidur yang buruk dapat meningkatkan risiko kondisi kesehatan mental, memperburuk gejala yang sudah ada, atau mengurangi efektivitas pengobatan.
Bukti menunjukkan bahwa kurang tidur dapat menyebabkan perubahan suasana hati yang serupa dengan gejala kecemasan dan depresi.
Masalah tidur juga sering dikaitkan dengan berbagai kondisi kesehatan mental, seperti depresi, gangguan kecemasan, gangguan bipolar, dan skizofrenia.
Selain itu, dilansir dari laman Healthline, insomnia sering kali dipicu oleh kecemasan, dan hubungan antara keduanya bisa terjadi dua arah.
Seseorang mungkin kesulitan tidur karena tidak bisa meredakan perasaan khawatir dan takut yang terus-menerus.
Sebaliknya, insomnia kronis dapat membuat seseorang merasa cemas karena tidak bisa tidur, yang pada gilirannya menyulitkan mereka untuk mengelola emosi yang tidak diinginkan di siang hari.
Selain itu, ada bukti lain yang menunjukkan hubungan erat antara insomnia dan depresi.
Sebuah meta-analisis pada tahun 2016 terhadap 34 penelitian menyimpulkan bahwa kurang tidur, terutama saat mengalami stres, tampaknya secara signifikan meningkatkan risiko depresi.
Dalam sebuah penelitian tahun 2018 yang melibatkan 1.126 orang dewasa yang tidak memiliki diagnosis insomnia atau depresi saat penelitian dimulai, ditemukan bahwa risiko depresi meningkat seiring memburuknya gejala insomnia.
Lebih jauh lagi, kesulitan tidur, termasuk insomnia, juga dikenal sebagai salah satu gejala utama depresi.
Insomnia Sebagai Gejala Gangguan Kesehatan Mental
Insomnia dan kesehatan mental memang berkaitan erat. Gangguan tidur sering kali merupakan salah satu gejala dari gangguan kesehatan mental.
Orang yang mengalami kondisi seperti depresi, kecemasan, atau gangguan stres pascatrauma (PTSD) sering mengalami kesulitan tidur.
Pikiran yang berlebihan, rasa cemas, dan perasaan tertekan dapat membuat seseorang sulit tertidur atau terbangun di tengah malam. Misalnya, seseorang yang mengalami kecemasan sering kali terus memikirkan masalah-masalahnya, membuat otaknya tetap aktif di saat seharusnya beristirahat.
Insomnia Dapat Memperburuk Kesehatan Mental
Sebaliknya, kurang tidur yang berkepanjangan akibat insomnia dapat memperburuk kondisi kesehatan mental seseorang.
Kurangnya tidur berkualitas dapat menyebabkan perubahan mood, peningkatan kecemasan, iritabilitas, serta sulitnya mengatasi stres. Ini dapat memicu atau memperparah gangguan mental yang sudah ada, menciptakan lingkaran setan di mana insomnia dan gangguan mental saling memperkuat.
Efek Jangka Panjang
Jika tidak ditangani, kombinasi insomnia dan kesehatan mental yang terganggu dapat memiliki dampak jangka panjang.
Penderita mungkin mengalami penurunan fungsi kognitif, gangguan dalam hubungan sosial, hingga kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Selain itu, insomnia kronis dapat meningkatkan risiko gangguan mental yang lebih serius, seperti gangguan bipolar atau skizofrenia.
Penanganan Holistik
Mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan holistik yang mencakup penanganan insomnia dan gangguan mental secara bersamaan.
Terapi kognitif-perilaku (CBT) untuk insomnia, teknik relaksasi, manajemen stres, dan pengelolaan gaya hidup adalah beberapa metode yang dapat membantu. Konsultasi dengan profesional kesehatan mental juga penting untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat.
Karena insomnia dan kesehatan mental saling terkait, pengobatan harus mencakup keduanya.
Upaya untuk mengatasi stres atau masalah kesehatan mental juga perlu disertai dengan dukungan yang memadai untuk memperbaiki kualitas tidur agar dapat mencapai hasil yang optimal.
Demikian pula, menangani gangguan tidur dapat membantu meringankan gejala kesehatan mental, sehingga program dukungan tidur harus dirancang secara komprehensif dan juga mempertimbangkan aspek kesehatan mental.